Cerita Dewasa, Jadikan Aku Budak Sexmu
Cerita Dewasa - Kak Rian mencabut penisnya dari vaginaku. Aku merasakan penisnya
melemas, meluncur keluar. Ia terus bangkit berdiri. Aku masih megap-megap,
kehabisan nafas. Kenikmatan yg bertubi-tubi, bahkan rasa sakitnya pun nikmat.
Penis
yg terkulai itu masih nampak besar, jauh lebih besar daripada punya Bapak.
Lebih besar daripada… penis laknat yg dahulu memperkosaku. Aku merasa vaginaku
sakit, ngilu, dan bahagia.
Mungkin,
begini rasanya pengantin baru. Vagina ngilu, karena baru dimasuki batang penis
suami yg besar. Aku memandang Kak Rian, merasakan getaran. Apakah ini cinta? Di
saat seluruh tubuhku terasa basah berkeringat, di saat pantatku terasa basah —
ini spreinya harus diganti karena basah semua — dan aku masih bisa mencium wangi
persetubuhan kami berdua, adakah ini adalah cinta?
Jadikan Aku Budak Sexmu
Aku
memandang Kak Rian. Masih merasa seperti bermimpi, yg kalau diceritakan maka
akan jadi cerita cabul esek esek saru. Tapi aku merasa indah, dan mendengar
kata-kata cintanya, walau aku tahu ini tdk mungkin, aku sangat bahagia. Kak Rian
menaruh tubuhnya yg telanjang dan basah di sisiku. Sprei basah sudah tdk
terpikirkan, tdk masalah. Yg penting adalah saat itu, ketika Kak Rian
merangkulku, memelukku.
Ketelanjangan
kami berdua membuat tdk ada lagi pemisah, pelukan erat oleh tangan dan kaki dan
lidah yg bertautan. Aku menangis, bahagia. Aku mencucurkan air mata. Ia
menatapku dengan bingung. Panik? Tapi aku tersenyum lebar, dengan mata basah,
aku berbisik di telinganya,
“Kak
Rian… saya kini milikmu.”
“Sayaannnggg….” desahan berat itu menggetarkan jiwaku.
“Saya mau melayani… Mungkin…. Mungkin saya tdk pantas jadi istri. Tapi, kalau
boleh, sekali ini, Biar saya melayani. Jadi budak sexmu pun… saya bahagia…”
“Huusssss…. Jangan ngomong gitu… ” Aku lantas bangkit duduk di atas ranjang.
Kak
Rian masih berbaring di situ. Gagah sekali. Baru saja menggagahiku… aku mau
digagahi. Ditiduri. Lagi, lagi. Aku menundukkan wajahku. Mataku memandang
penisnya yg melemas, masih basah berlendir.
“Kak
Rian… saya terima kenyataan. Saya tdk pantas Kak… Kakak mau meniduri saya saja,
sudah lebih dari yg saya bayangkan. Saya mengerti kalau nanti Kakak harus
pergi. Tapi sekarang, kalau boleh saya ingin melayani Kakak…” Aku mengangkat
wajah.
Menatap
wajah tampan itu, menjadi Arjunaku dalam hidup. Kak Rian wajahnya nampak sangat
serius.
“Aku
cinta padamu…”
“Kak
Rian… kita baru berkenalan. Kak Rian belum kenal saya sedalamnya. Bagaimana
bisa berkata cinta? Tapi, saya bahagia kalau bisa melayani Kak Rian
bercinta…”Aku meraih penisnya yg lemas itu. Basah. Lengket.
Aku
melepaskan ikatan rambutku, tergerai sampai ke ujung putingku. Aku menunduk.
Memakai rambut untuk mengelap penis merah tua, yg kepalanya licin merah muda.
Masih belum bersih. Jadi, aku menunduk lebih dalam, menggunakan bibirku,
lidahku, mulutku. Rasanya asin gurih, penis itu terasa lembut kenyal di
mulutku. Aku menjilatinya, membersihkannya.
Aku
senang mendengar rintihan nikmat Kak Rian. Penis itu berdenyut-denyut di
mulutku, mengeras, membesar. Aku merasa bergairah. Aku bisa membangkitkan kembali
keperkasaannya. Kekuatannya. Aku menghisap kepala yg merah muda itu, seperti
mengulum lolipop. Karena penisnya sudah kembali menjadi panjang dan besar, aku
melingkarkan jari- jariku yg lentik. Ketika ujung ibu jari dan jari tengah
bertemu, pas melingkari penis yg kokoh ini.
Aku
mulai menyukai urat- uratnya, guratan-guratannya. Terasa enak ketika lidahku
menyapu di sepanjang batang yg indah ini. Membuat vaginaku berdenyut. Aku ingin
memasukkannya kembali. Kegiatan menjilat dan menghisap itu membuatku seperti
merangkak di atas ranjang. Kedua lutut di pinggir ranjang, kedua siku menopang,
dan kepala dan bahuku merunduk ke bawah, bagaikan rusa betina yg sedang minum
air yg segar dengan rakusnya. Aku masih asyik menjilat dan mengulum dan
menghisap ketika Kak Rai memberiku perintah pertamanya.
“Diam
ya… tunggu…” Aku terdiam.
Menunggu,
dengan posisi masih menungging. Cairan dari vaginaku meleleh di sepanjang
pahaku. Terasa dingin di sore yg panas itu. Kak Rian bangkit, berdiri ke
samping ranjang. Ia melangkah, mengitari ranjang. Menempatkan diri persis di
belakangku. Aku merasakan tangannya mengelus kedua pantatku. Merenggangkannya.
Ujung penisnya menyentuh vaginaku. Aku menahan nafas, menanti. Kepala bulat
licin itu mencari jalan menguak bibir vaginaku. Melesak. Aku merasa seperti
kena setrum, tdk bisa menahan erangan nikmat.
Aku
membenamkan wajahku di permukaan ranjang yg basah. Aku mencium wangi lendir
membasahi hidungku. Rangsangannya luar biasa. Kak Rian mendorong maju. Aku
merasa penis itu menerobos masuk kembali ke vaginaku yg sempit. Keluar lagi.
Aku merintih, memohon agar penisnya dimasukkan kembali. Kak Rian mendorong
kembali dengan kekuatan besar. Menerobos. Menancap. Menarik. Menancap. Menarik.
Menancap.
“Tuan…
ayo… puaskan dirimu…” aku ingin Kak Rian menikmatiku.
Aku
mengeraskan otot di sekitar vaginaku, berusaha mencengkram penis itu.Tuanku
menjadi semakin cepat, lendir basah membuat vaginaku licin dan batang lelaki
itu bagaikan belut yg masuk dan keluar liangnya. Kak Rian seperti kesetanan, ia
memegang pangkal pahaku dan membuat tubuhku terguncang keras setiap kali
penisnya menghujam dalam-dalam. Nyeri, tapi sungguh nikmat. Inilah yg pantas
untukku: ditusuk kuat-kuat. Dalam-dalam. Apapun juga, asalkan Tuanku suka. Aku
sungguh mau menjadi budaknya.
“Haaahhhhh….
Ggrraaahhhhh….. ” sang jantan menggeram.
Gerakannya
semakin cepat. Aku turut menjerit di bawah tekanan. Aku ingin mencengkram dan
tdk melepaskan penis yg masuk dan keluar dengan cepat. Tusukan semakin kuat,
berirama, masuk semua sampai ke pangkalnya. Setiap kali paha kami beradu,
terdengar suara plak, plak, plak. Pandangan mataku gelap, nanar dalam hantaman
orgasme yg hebat. Vaginaku mencengkram penis itu sejadi-jadinya, sementara
tuanku membenamkan lagi sekuat-kuatnya, sampai aku tertekan ke ranjang.
Ia
mengejang-ngejang, aku merasakan denyutan- denyutan kuat. Menyembur. Masuk.
Memenuhi liang. Tenggelam dalam birahi yg memuncak. Terpancar. Lega, rasanya
lega sekali. Memuaskan laki-laki. Memuaskan Kak Rian, tuanku. Lelaki gagah ini
sekali lagi mencabut penisnya, lendir meleleh dari lubang vaginaku yg membesar,
mengalir di sepanjang pantat dan paha, menetes ke atas ranjang. Aku ambruk
saking lelah dan nikmatnya, seluruh syarafku seperti kelebihan beban rasa.
“Ke
kamar mandi yuk.” kata Kak Rian.
Aku
mengangguk, tanpa mampu banyak bersuara. Konon, budak tdk boleh banyak
bersuara, bukan? Kami mandi. Aku keramas, membersihkan lengket di rambutku. Di
tubuhku. Membersihkan selangkanganku.
“Di
cukur?” Kak Rian bertanya sambil meremas jembutku. Aku mengangguk. Mengambil pisau cukur dan krim punya Bapak, aku
menyemprotkan busa putih di rambut kemaluan, lalu mulai mencukur.
10
menit kemudian aku selesai dan bersiram di bawah pancuran air hangat.
Selangkanganku bersih seperti anak-anak. Tapi bibirnya sudah tebal dan kini
agak membesar, setelah melayani penis besar itu dua kali berturut-turut. Kak Rian
dengan senang mengusap-usap vaginaku yg kini jadi licin.
“Hehehe….
Kalau dikasih madu di sini, enak ya… tapi… saya kok lemes sekarang…”
“Kak Rian… saya masakin apa buat makan?”
“Mie?”
“Bentar ya…” Selesai mandi, dan mengeringkan badan, aku bergegas ke dapur.
Telanjang
berbalut handuk saja, toh hanya ada kami berdua. Udara terasa semakin dingin
malam ini. Mie kuah hangat pasti terasa istimewa. Selesai menyediakan mie di
atas meja makan, aku terus ke kamar Kak Rian. Menarik sprei dan melepas sarung
bantal. Bawa ke tempat cucian, masukkan ke ember untuk direndam semalam.
Selesai semua pekerjaan, aku melihat Kak Rian baru saja menyelesaikan makannya.
“Minum
kopi?” tanyaku.
Bapak
biasa minum kopi di sore hari begini, kalau ada di rumah. Kak Rian tersenyum,
mengangguk.
“Tambah
telor setengah matang?” Sempurna.
Aku
bergegas mempersiapkan semuanya. Menghidangkannya.
“Sini….”
Kak Rian memanggil. Dengan patuh aku menurut.
“Duduk di atas meja.” Meja itu dari kayu mahoni, besar dan kuat.
Jadi
tanpa ragu aku membereskan apa yg ada, kecuali secangkir kopi dan semangkuk
telur setengah matang itu. Aku duduk di hadapan Kak Rian.
“Naikin
kakinya. Buka…” Aku menaikkan kakiku, kedua telapak kaki persis di pinggir
meja. Tubuhku terbaring. Pahaku terlipat menempel betis. Mengangkang. Handukku
tersibak terbuka. Vaginaku yg licin terpampang di hadapannya. Aku menanti. Kak Rian
menyendok telur setengah matang yg hangat itu lalu mengucurkannya, persis di
atas kelentitku. Satu sendok teh saja. Terasa hangat mengalir di bibir
vaginaku.
Ia
kemudian menunduk dan menjilat cairan kuning itu. Seketika aku seperti
disetrum, tubuhku mengejang, tapi aku menahan diri dari bergerak atau bersuara.
Hanya nafasku saja yg tersengal- sengal. Enaknya bukan main.
“Enak
bukan main….” desah Kak Rian.
Ia
menjilati vaginaku plus telur itu sampai bersih, lalu menuangkan lagi.
Menjilatinya lagi. Vaginaku segera banjir oleh cairan cintaku, semuanya dijilat
bersih. Kak Rian menuang lagi. Menjilat lagi. Menghisap kelentitku. Mengigit
gemas bibir vaginaku. Aku tak tahan lagi. Ketika semangkuk telor setengah
matang itu hampir habis, orgasme hebat melandaku.
“Aaaauuhhhh….
Tuaannnn….” aku tak tahan.
Terlalu
enak. Terlalu gila, tdk pernah dibayangkan akan begini, tapi nyatanya luar
biasa. Mungkin waktunya hanya semenit, tapi terasanya lama sekali,
bergelombang, sesuatu yg tdk pernah kualami dalam hidup. Sesuatu terbuka dalam
diriku. Tdk ada lagi batasan. Bagi lelaki ini, semuanya kuberikan. Aku duduk di
atas meja. Kulihat tuanku sudah mengeluarkan penisnya, tegak mengacung.
Tanpa
perintah kata-kata, aku tahu itu adalah tanda. Aku segera turun dari meja,
mengangkanginya. Menurunkan tubuh, sekali lagi batang itu menghujam vaginaku yg
licin basah setelah orgasme tadi. Rasanya kembali mengikat, mendorong,
memelintir, merobek penahan, menghilangkan pembatas… Aku menari-nari dengan
penis menancap di vaginaku. Aku menggoyang pinggul bak pedangdut, membuat
putaran dan pelintiran serta erangan. Tuanku sungguh perkasa.
Setelah
2 kali hari ini, kekuatannya seperti makin bertambah, mengeras, memanjang.
Memenuhi liangku. Memenuhi diriku. Mengambil hatiku. Walau aku hanya budak.
Aku…. sekali lagi tangan yg kekar itu memegang pinggangku yg ramping erat-erat,
menekan tubuhku ke bawah. Tertanam dalam, karena sedetik kemudian sekali lagi
kunikmati denyut-denyut dan semburan di deoan mulut rahimku.
Aku
terbenam dalam pelukannya, jatuh kelelahan dalam dekapannya. Malamnya, hujan lebatmengguyur Jakarta. Kami hanya berdua
saja di sana, di ruang keluarga. Televisi menyala, berita diisi tentang
genangan air dan banjir Ibukota. Kak Rian duduk di sofa. Seperti biasa, aku
duduk bersimpuh di bawah. Mata ke televisi tapi pikiran dan badan masih terasa
melayg, belum mendarat setelah tadi terbang berkali- kali.
“Sayang…”
“Ya tuan?”
“Lho, kok tuan?”
“Yaaa… kan saya pembantu…”
“Tapi aku cinta padamu!” Aku menunduk.
Aku
juga cinta pada tuanku… Tapi aku duduk di tempat berbeda.
“Saya
masih tetap hanya pembantu.”
“Aku tdk peduli! Aku cinta sama kamu!” Aku menunduk dalam- dalam. Air mata
membasahi pipiku, mengalir, menetes.
“Saya tetap saja begini, tuan. Walau, saya juga… cinta. Tapi saya tdk berharap
bisa lebih. Saya sudah bahagia kalau saya… kalau saya diterima. Kalau tuan mau
meniduri saya… rasanya bahagia.”
“Jangan… jangan bilang begitu…” Aku tersenyum sedih.
Aku
mengangkat wajah, memandangnya. Menatap matanya, lelaki yg telah mendapatkan
seluruh hati dan tubuhku.
“Tuan
kan hanya liburan. Nanti akan kembali lagi ke luar negeri. Saya tetap jadi
pembantu di sini. Tuan nanti akan bertemu gadis lain, yg pasti cantik, dan
pantas untuk tuan. Nanti tuan akan melupakan saya. Saya sudah bahagia bisa
begini. Saya juga enak dan nikmat. Tapi kalau nanti tuan pergi dan lupa pada
saya…. saya tdk akan melupakan tuan.” Kening tuanku berkerut.
Ia
nampak marah. Astaga, apakah aku sudah berkata salah? Aku menjadi takut.
“Ma…
maafkan saya, tuan. Saya sudah berkata lancang…” Tuanku terdiam.
Aku
merasa tdk karuan.
“Permisi,
tuan…” dengan gugup aku bangkit lalu kembali ke kamarku. Ambil baju dan handuk,
aku terus kembali mandi. Mengenakan pakaian lengkap seperti biasa.
Tubuhku
terasa lelah sekali… hari belum larut saat aku membenamkan wajahku di kasur. Di
sanalah aku menangis sejadi-jadinya, hingga lelah dan ketiduran. Keesokan
paginya, jam empat pagi aku bangun dengan pikiran kusut tak karuan. Merasa
pantatku lembab. Pegang selangkangan… oh sial. Darah. Aku mens semalam, dan sekarang
semuanya jadi kotor. Jadi pagi-pagi dihabiskan dengan mencuci celana dalam,
daster, dan seprai. Darah mensku nampak tdk sekental biasanya… aku menemukan
ada sisa lendir Kak Rian, yg sebelumnya dibenamkan dalam. Benihnya, keluar lagi
semua. Hatiku makin muram…
Setelah
membereskan kamar, aku mulai membersihkan rumah. Membersihkan bekas-bekas
lendirku di meja makan, di kursi, di lantai. Membersihkan air mani Kak Rian di
sana sini. Bersih tak berbekas, aku menyemprot dengan pembersih yg wangi
lavender, kesukaan ibu, kesukaanku juga. Setelah itu mulai mempersiapkan dapur,
memasak nasi, air panas… Aku mempersiapkan sarapan pagi. Untuk Kak Rian. Untuk…
tuan. Matahari sudah terbit di balik awan mendung ketika aku memasuki kamarnya.
Kak Rian masih tertidur pulas. Aku membawa senampan sarapan dan kopi panas itu,
kuletakkan di meja sebelah ranjang.
Ah,
memandang ranjang itu… kemarin aku membenamkan wajahku di sana, sementara
penisnya terbenam di vaginaku… Aku tersenyum. Kenangan itu akan selalu kuingat,
setiap aku memasuki ruang tidur untuk tamu ini. Aku terus duduk di lantai, di
sisi ranjang. Memandang wajah yg tampan itu, berkhayal bahwa lelaki ini menjadi
milikku. Ah, khayalan yg tdk akan pernah terwujud… tapi kukira aku masih boleh
berkhayal, bukan? Walaupun mungkin nanti aku akan menjadi sedih. Mungkin Kak Rian
tdk akan ingat lagi, kalau ia sudah kembali ke amerika. Ia berasal dari
keluarga kaya raya. Sedang aku? Aku hanya punya tubuh ini, itupun sudah
dinodai. Kak Rian membuka matanya. Aku tersenyum, menyambutnya di hari yg baru.
“Met
pagi, tuan…”
“Met pagi…”
“Sarapan?”
“Ehm… ada kamu kan?”
“Kok ada saya?”
“Iya, saya mau sarapan kamu”
“Hihihi…. Saya bukan makanan, tuan. Itu, sarapan di atas meja.” Kak Rian
mengkerutkan keningnya.
“Kok sekarang jadi terus menerus manggil tuan…?” Aku tertunduk.
Terdiam.
Bagaimana aku bisa mengatakannya? Jika aku tdk menjadikannya tuan, maka… maka
hatiku akan sakit. Bagaimana aku dapat memanggilnya sebagai kekasih, walaupun
kini aku mencintainya dengan seluruh tubuh dan jiwaku?
“Aku
cinta padamu,” Kak Rian duduk di tepi ranjangnya. Aku masih bersimpuh di lantai.
“Ini… maafkan aku. Mungkin seharusnya… aku tdk berbuat itu terhadapmu.”
“Berbuat apa?”
“Kemarin, kita… seks. Kamu tahu, di amerika, semua mudah berhubungan badan.
Beberapa perempuan mengajakku juga. Kamu… mengerti?” Aku mengangguk.
Denyut
jantungku makin cepat. Aku mengerti. Aku merasa… sakit. Membayangkan ia sedang
menghujamkan penisnya ke vagina lain, terasa menyakitkan.
“Tapi,
aku tdk pernah melakukannya.”
“Tdk pernah?” Aku mengejapkan mata.
Kak
Rian mengatakan bahwa ia pertama kalinya meniduri perempuan… tapi aku kira ia
bercanda. Atau bermaksud lain. Bagaimana bisa baru pertama, kalau kemarin sudah
sehebat itu?
“Tdk
pernah. Aku tahu, teman-temanku sudah melakukannya. Kami sudah, well, sering
nonton pasangan yg begituan di sana sini. Teman sekamarku melakukannya di
ranjang sebelah ranjangku. Perempuan lain pernah mengajakku, bahkan mereka
sudah… yah, menggunakan mulutnya. Tapi, aku belum pernah meniduri perempuan.
Karena aku belum pernah mencintai perempuan, seperti aku mencintaimu. Karena
itu… jadilah kekasihku. Aku bukan… aku bukan tuan. Aku tdk ingin menjadi tuan.
Aku mencintai kamu.”
“Tapi… nanti akan kembali ke amerika dan… dan saya masih di sini….”
“Kuliah itu paling lama hanya dua tahun lagi. Tunggulah, ya? Aku akan kembali
untukmu. Sungguh.” Aku menggelengkan kepala. “Jangan… saya tdk pantas. Saya
hanya pembantu. Apa kata keluarga, apa kata Bapak dan Ibu? Mereka juga… pasti
punya harapan untuk tuan, untuk… Kak Rian. Bagaimana kalau mereka melihat kita…
jalan berdua? Tdk mungkin… saya hanya… pembantu.” Aku memejamkan mata.
Kurasakan nafas hangat di pipiku.
Bibir
hangat mencium pipiku, mencium air mataku. Aku masuk dalam pelukannya.
“Kita
sudah jadi… setubuh. Masih aku rasakan. Kamu masih ingin?” Aku menggeleng.
Kak
Rian mendadak nampak khawatir.
“Kenapa?”
“Saya… semalam saya datang bulan.”
“Oh… mens ya?” Aku mengangguk.
Kak
Rian tersenyum,
“Kalau
begitu, kita berpelukan saja seharian ini.” Aku tdk tahu harus berkata apa.
Untuk
sementara, hari- hari ini adalah hari bahagiaku. Biarlah… jika waktu berlalu,
entah kemana nasibku melaju. Aku mau jadi budaknya… menjadi yg lain pun, aku
bersedia.
No comments: