Cerita Dewasa - Sebut saja namaku Hardi.
Aku bekerja di sebuah instansi pemerintahan di kota S, selain juga memiliki
sebuah usaha wiraswasta. Cerita berikut ini bukan pengalamanku sendiri, melainkan
pengalaman seorang rekanku, sebut saja dia Andi.
Cintaku di Tolak, Perkosa Pun Jadi..
dimana kita memang punya
kegaitan yang sama , caranya ada ada saj untuk mendapatkan kembang desa,
walaupun sudah punya istri sebanyak 3.
Winda terbangun dengan
kepala yg pusing. Namun entah mengapa kedua tangannya tidak dapat digerakkan.
Seluruh tubuhnya terasa hangat.
Sambil mengerjapkan
matanya, gadis itu memandang sekelilingnya. Ternyata ia berada dalam sebuah
kamar yg belum pernah dilihatnya, terbaring di atas ranjang empuk dan besar yg
berwarna merah jambu.
Dari jendela yg tertutup
terbayang hari sudah gelap. Dalam kamar itu sendiri hanya ada sebuah lampu
kecil yg menyala remang-remang. Winda hanya ingat Sabtu sore tadi setelah
bertanding bola volley melawan sekolah dari kecamatan tetangga, ia harus berlari-lari
dalam gerimis hujan menuju rumah neneknya untuk menginap malam ini, karena
rumahnya terlalu jauh dari lapangan volley. Seperti umumnya gadis desa lainnya,
meskipun tidak terlalu tinggi, namun Winda memiliki tubuh yg montok dan padat.
Payudaranya yang yang
montok, sangat jelas karena branya juga membkas di kaosnya, wajahnya yang manis
dan sensual tak mana pemda pemuda disekitarnya selalu menginginkan gadis
tersebut ditunjang dengan kulit yang halus dan putih. apalagi kalau jika dia
berjalan smata terarah pada pantatnya yang menggoda.
Pantatnya yg montok
selalu menonjol di balik rok seragam sekolahnya, yg biarpun di bawah lutut,
ketatnya memperlihatkan garis celana dalam gadis itu.
Bukan hanya para pemuda,
beberapa orang yg telah beristri pun berangan-angan menjadikan gadis kelas 1
SMU itu istri mudanya. Menurut katuranggan, gadis macam Winda rasanya peret dan
legit, pasti akan memberikan kenikmatan sepanjang malam, membuat suaminya betah
di rumah.
Tidak heran, tiap kali
ada pertandingan volley, selalu banyak penontonnya, meski kebanyakan hanya
menonton paha Winda yg bercelana pendek dan guncangan buah dadanya saat gadis
itu memukul bola.
“Ah, sudah bangun
Nduk..?” sebuah suara dan lampu yg menyala terang mengagetkan gadis itu. Tampak
seorang pria kekar memasuki ruangan. Winda mengenalinya sebagai Andi, seorang
terpandang di desanya.
Meski bukan penduduk
desa itu, namun suka kawin-cerai dengan gadis-gadis di sini. Dalam sebulan
paling ia hanya di rumah satu-dua hari saja, selebihnya “kerja di kota”.
Sekarang ini istrinya di
sini sudah ada tiga orang, semuanya masih belasan tahun dan cantik-cantik,
namun masih suka menggoda Winda tiap kali bertemu. Bahkan baru saja ia pernah
berusaha melamar gadis itu namun tidak berhasil.
Winda berusaha bangun,
namun tangan dan kakinya tetap lemas tidak dapat bergerak.
“Tenang saja Nduk, nggak
usah banyak gerak. Malam ini kamu di sini dulu.” kata Andi. Tidak sengaja Winda
melihat ke dinding kamar, dan dari cermin besar yg terpasang di sana, ia
menyadari kedua tangannya terikat menjadi satu di atas kepalanya, demikian juga
kedua kakinya yg terentang ke sudut-sudut ranjang, seperti huruf Y terbalik.
Seluruh tubuhnya
tertutup selimut, namun ujung selimut yg tersingkap memperlihatkan sebagian
paha gadis itu. Di sudut ranjang tampak terserak baju seragam dan rok yg tadi
dipakainya.
“Pak Andi, Winda dimana?
Kenapa Winda begini?” tanya gadis itu dengan panik.
Ia mulai teringat saat
berlari ke rumah neneknya tadi seseorang menariknya dari belakang dan
menempelkan sesuatu yg berbau menyengat ke wajahnya, kemudian semuanya menjadi
gelap, hingga akhirnya ia kemudian tersadar di situ.
“Tenang Winda, kamu
baik-baik saja. Malam ini kita akan kawin. Minggu lalu saya sudah melamarmu
pada bapakmu. Sekarang kita akan nikmati malam pertama kita.” kata Ta
sambil menyeringai.
“Enggak! Enggak! Kemarin
Bapak bilang ditolak! Winda nggak mau!” gadis itu berusaha meronta, namun
ikatan tangan dan kakinya terlalu kuat baginya.
Sambil tertawa terkekeh, Andi perlahan menarik selimut yg menutupi tubuh gadis itu, membuat Winda terpekik
karena penutup tubuhnya perlahan terbuka, sedangkan ternyata di balik selimut
itu ia sudah telanjang bulat.
“Jangan! Jangan! Aduh
jangan! Pak Andi, jangan Pak! Tolong..!” Dengan sigap Andi mengambil pakaian dalam
Winda yg terserak di atas ranjang, lalu menyumpal mulut gadis itu dengan celana
dalamnya sendiri, dan mengikatnya ke belakang dengan bra gadis itu.
“Pak? Kamu panggil aku
Pak? Aku ini suamimu, tahu! Panggil aku Kangmas!” seru Andi sambil menampar pipi
Winda sampai gadis itu memekik kesakitan.
Andi semakin beringas
melihat tubuh Winda yg montok telanjang bulat. Kedua paha gadis manis itu
terentang lebar mempertontonkan bibir kemaluannya yg jarang-jarang rambutnya.
“Diam Sayang! Ini malam kita bedah kelambu!
Kalau bapakmu yg tolol
itu tidak mau anaknya dilamar baik-baik, kita lihat saja besok! Karena besok
anak perawannya sudah tidak perawan lagi!” Tanpa basa basi Andi segera membuka
pakaiannya sendiri, lalu melompat ke atas ranjang.
Winda dengan sia-sia
meronta dan menjerit saat Andi menindih tubuhnya yg telanjang bulat tanpa sehelai
benang pun. Gadis itu bahkan tidak bisa untuk sekedar merapatkan pahanya yg
terkangkang lebar.
Pekikan Winda tertahan
sumpalan celana dalam saat Andi meremas buah dada gadis itu dengan kerasnya.
Rontaan dan pekikan gadis cantik itu sama sekali tidak digubris. Andi kemudian
menempatkan kejantanannya tepat di depan bibir kemaluan Winda.
“Diam Sayang! Jangan
takut, enak sekali kok! Nanti pasti kamu ketagihan. Sekarang biar Kangmas ambil
perawanmu…” sambil berkata begitu Andi menghujamkan kejantanannya memasuki
hangatnya keperawanan Winda.
Selaput dara gadis itu
terasa sedikit menghalangi, namun bukan tandingan bagi keperkasaan kejantanan Andi yg terus menerobos masuk.
“Haanggkk..! Aahhkk..!”
Napas gadis itu terputus-putus dan matanya yg bulat indah terbeliak lebar saat
Winda merasakan perih tiba-tiba menyengat selangkangannya.
Tubuh montok gadis itu
tergeliat-geliat merangsang dengan napas tersengal-sengal sambil terpekik
tertahan-tahan ketika Andi dengan perkasa menggenjotkan kejantanannya menikmati
hangatnya kemaluan perawan Winda yg terasa begitu peret. “Aahh… enak sekali
tempikmu… aahh… Wulaaanh… enak kan Nduk..? Terus ya Nduk..?” Andi mendesah
merasakan nikmatnya mengambil kegadisan si kembang desa.
Winda sambil merintih
tidak jelas menggelengkan kepala dan meronta berusaha menolak, namun semua
usahanya sia-sia, dan gadis itu kembali terpekik dan tersentak karena Andi kini
dengan kuat meremasi kedua payudaranya yg kencang menantang.
Memang benar kata orang,
gadis seperti Winda memang sangat memuaskan, wajahnya yg cantik, buah dadanya
yg tegak menantang bergerak naik turun seirama napasnya yg tersengal-sengal,
tubuhnya yg montok telanjang bersimbah keringat, kedua pahanya yg mulus bagai
pualam tersentak terkangkang-kangkang, bibir kemaluannya tampak megap-megap
dijejali kejantanan Andi yg begitu besar.
Sementara dinding
kemaluannya terasa seperti mencucup-cucup tiap kali gadis itu terpekik
tertahan. Winda dengan airmata berlinang merintih memohon ampun, namun tusukan
demi tusukan terus menghajar selangkangannya yg semakin perih. Payudaranya yg
biasanya tersenggol pun terasa sakit kini diremas-remas tanpa ampun.
Belum lagi rasa malu
diikat dan ditelanjangi di depan orang yg tidak dikenalnya, lalu diperkosa
tanpa dapat berkutik. Rasanya bagai bertahun-tahun Winda disetubuhi tanpa mampu
melawan sedikitpun.
“Hhh..! Windah..!
Wulaann..! Sekarang Mas bikin kamu hamil, sayangghh..! Aah… ambil Nduk! Nih!
Nih! Niih..!” Tanpa dapat ditahan lagi Andi menyemburkan spermanya dalam
hangatnya kemaluan Winda sambil sekuat tenaga meremas kedua payudara gadis itu,
membuat Winda tergeliat-geliat dan terpekik-pekik tertahan sumpalan celana
dalam di mulutnya. Kepala gadis itu terasa berputar menyadari ia akan hamil.
Perlahan pandangan gadis itu menjadi gelap.
Winda kembali tersadar
oleh dengusan napas di depan wajahnya. Sebelum sadar sepenuhnya, sengatan perih
di selangkangannya membuat gadis itu terpekik dan meronta. Namun tangan dan
kakinya tidak mau bergerak, dan pekikan-pekikannya tidak dapat keluar.
Dengan gemas Andi kembali
menggenjotkan kejantanannya menikmati keperawanan Winda. Andi tidak tahan lagi
untuk tidak kembali menggagahi gadis itu, memandanginya tergolek telanjang
bugil tanpa daya di atas ranjang.
Pahanya yg putih mulus
terkangkang seolah mengundang, bibir kemaluannya yg berambut jarang terlihat
berbercak merah, tanda Winda memang betul-betul masih perawan, tadinya.
Kedua payudara gadis itu
berdiri tegak menjulang, dengan puting susu yg kemerahan menggemaskan.
Sementara wajahnya yg manis dan bau tubuhnya yg harum alami sungguh membuat Andi lupa diri. Dengan istri muda seperti Winda, ia tidak akan mau tidur sekejap
pun, tidak perduli gadis itu suka atau tidak.
“Aah..! Ahk! Angkung
(ampun)..! Aguh (aduh).. hakik (sakit).. angkung (ampun)..!” Winda
merintih-rintih tidak jelas dengan mulut tersumpal celana dalam di sela-sela jeritan
tertahan. Tanpa mampu merapatkan pahanya yg terkangkang, gadis itu merasakan
kemaluannya semakin perih tiap kali Andi menggerakkan kejantanannya.
Tiap detik, tiap
genjotan terasa begitu menyakitkan, Winda berharap kembali pingsan saja agar
perkosaan ini segera berlalu.
Namun gadis itu tanpa
daya merasakan bagian bawah tubuhnya terus ditusuk-tusuk benda yg begitu besar.
Andi semakin giat
menggenjotkan kejantanannya dalam hangatnya kemaluan Winda yg peret dan
mencucup-cucup menggiurkan. Istri barunya ini memang pintar memuaskan suami di
atas ranjang.
Apalagi kalau nanti
diajak tidur beramai-ramai bersama satu atau dua istrinya yg lain. Membayangkan
meniduri dua atau tiga gadis sekaligus membuat Andi semakin bersemangat menyodok
kemaluan Winda, semakin cepat, semakin dalam.
Andi merasakan
kejantanannya menyentuh dasar kemaluan gadis itu bila disodokkan dalam-dalam.
Winda sendiri hanya merintih tampak pasrah mempersembahkan kesuciannya pada Andi.
Airmata gadis itu tampak berlinang membasahi pipinya yg kemerahan.
Tubuh montok gadis itu
tergelinjang-gelinjang kesakitan tiap kali kejantanan Andi menyodok masuk dalam
kemaluannya yg begitu sempit. Dengan menggeram seperti macan menerkam mangsa, Andi dengan nikmat menyemburkan sperma dalam kehangatan tubuh Winda yg terpekik tertahan-tahan.
Semalam suntuk Andi dengan
gagahnya memperkosa Winda, setidaknya lima kali gadis itu disetubuhi tanpa
daya. Entah berapa kali Winda pingsan ketika Andi mencapai puncak, hanya untuk
tersadar ketika tubuhnya kembali dinikmati dengan buasnya.
Selangkangan gadis itu
terasa perih dan panas, seperti ditusuk-tusuk besi yg merah membara.
Payudaranya serasa lecet diremas habis-habisan, terkena semilir angin pun
perih. Punggung gadis itu perih tergores kuku Andi.
Namun siksaan tanpa
belas kasihan itu tidak kunjung usai, bagai tidak mengenal lelah kejantanan Andi terus bertubi-tubi menusuk dalam-dalam, kedua tangannya seperti capit kepiting
terus mencengkeram buah dada Winda.
Sementara gadis itu
dengan tangan dan kaki terikat erat tidak mampu berkutik, apalagi menghindar
atau mencegah. Bahkan menjerit pun Winda tidak mampu, tenaganya sudah habis dan
sumpalan celana dalamnya sendiri membuat pekikannya hanya seperti erangan.
Bagai berabad-abad Winda dibuat bulan-bulanan tanpa daya.
Dari sela-sela jendela
yg tertutup, sinar matahari pagi menerobos masuk. Dengan lemas Andi berbaring di
sisi Winda yg terisak-isak. Sungguh luar biasa istri barunya ini, semalam
suntuk gadis ini mampu melayani suaminya.
Dari jam tujuh malam
sampai jam enam pagi, dalam sebelas jam gadis itu mampu lima-enam kali
memuaskan suaminya, meskipun harus sedikit dipaksa. Kalau saja kemarin tidak
minum obat kuat, mungkin saja pagi ini Andi tidak dapat bangun. Sambil tersenyum
lebar, Andi bangkit dan mengenakan pakaian.
Perlahan Andi membuka
sumpalan mulut Winda. Gadis itu sendiri masih telanjang bulat dengan tangan dan
kaki terikat terentang lebar. “Nduk, kalau jadi istriku, kamu minta apa saja
pasti aku beri. Mau kalung? Gelang? Rumah? Sepeda motor? Jangan takut, sebagai
istri orang kaya, semua keinginanmu akan terkabul.”
“Nggak mau… lepasin
Winda… Winda mau pulang..!” isak gadis itu menghiba.
“Rumah kita sekarang di
sini Nduk, kamu sudah jadi istriku.” bujuk Andi. “Enggak… enggak mau. Winda mau
pulang!” gadis itu berusaha meronta tanpa hasil.
“Jangan buat suamimu ini
marah, Nduk! Kamu sudah jadi istriku, aku bebas berbuat apa saja dengan kamu!
Jangan keras kepala!” seru Andi jengkel.
Winda sambil terisak
terus menggelengkan kepala. Berulangkali bujukan dan ancaman Andi tidak
dihiraukan Winda, membuat Andi naik pitam. “Baik, jadi kamu tidak ingin jadi
istriku. Baik, kamu sendiri yg minta, Nduk! Jangan salahkan aku kalau aku
bertindak tegas!” kata Andi sambil membuka ikatan kaki Winda.
Andi kemudian membuka
ikatan tangan gadis itu dari besi ranjang, namun kedua pergelangan tangannya
tetap terikat erat. Lalu dengan menarik ujung tali yg mengikat tangan Winda, Andi menyeret gadis yg masih telanjang bulat itu keluar kamar. Karena tubuhnya masih
lemas, Winda tidak kuasa menolak dirinya yg masih bugil diseret sampai ke jalan
desa yg terang benderang.
“Hei, lihat! Lihat ini!
Sungguh memalukan!” seru Andi sambil menyeret gadis yg mati-matian berusaha
menutupi ketelanjangannya. “Ada apa Pak Andi? Apa yg terjadi?” tanya orang-orang
desa yg segera saja mengerumuni keduanya.
“Lihat ini! Perempuan
ini sudah membuat desa kita tercemar! Dia berzinah dengan laki-laki! Saya
pergoki mereka di rumah kosong di tepi desa! Sayang laki-lakinya kabur, tapi
saya tahu orangnya! Pasti nanti akan kita tangkap!” seru Andi berapi-api.
“Tidak! Tidak.. tolong..!”
sia-sia Winda berusaha membantah, suaranya tertelan ramainya suasana.
“Lihat! Ini bukti
perempuan ini sudah berzinah!” Andi menunjuk ke arah selangkangan gadis itu yg
berbercak darah.
Kerumunan orang bergumam
dan mengangguk-anggukkan kepala. “Tidak! Saya tidak ber…” perkataan Winda
terputus oleh teriakan salah seorang.
“Bawa ke balai desa!
Biar dihukum adat di sana!” serunya. Seseorang lain menarik tali yg mengikat
tangan Winda dan menyeret gadis telanjang bulat itu menuju ke balai desa.
Sepanjang jalan mereka berteriak-teriak, membuat semakin banyak orang keluar
rumah melihat Winda yg bugil diseret. Anak-anak kecil berlari-lari
mengikuti sambil tertawa-tawa mengejek.
Di balai desa, tepat di
tengah pendopo, tali pengikat tangan Winda ditarik ke atas dan diikatkan dengan
tiang di atasnya. Kini gadis telanjang bulat itu berdiri tegak dengan tangan
terikat ke atas. Winda tahu bahwa hukuman bagi orang yg berzinah biasanya
keduanya ditelanjangi, kemudian diikat seharian di balai desa.
Seperti dirinya
sekarang, namun ia hanya sendirian dan ia sama sekali tidak berzinah. Gadis itu
diperkosa berkali-kali, lalu difitnah berzinah oleh pemerkosanya sendiri. Namun
siasia gadis itu berusaha membantah, suaranya yg kecil hilang ditelan ramainya
orang di sekitarnya. Dan kini ia berdiri telanjang bulat sendirian dikelilingi
belasan warga.
Isakan tangis Winda
semakin keras mendengar tawa orang-orang yg mengelilinginya, berkomentar
mencemooh tentang kemulusan tubuhnya, buah dadanya yg ranum kemerah-merahan
bekas diremas, pantatnya yg bulat, pahanya yg mulus. Isakan gadis itu terhenti
ketika sebuah truk berhenti di depan balai desa.
Beberapa ibu-ibu yg
turun dari truk terheran-heran melihat ke arah Winda. Beberapa orang kemudian
menurunkan barang-barang dari truk. Winda tersadar, hari ini hari pasar, dan
ratusan orang akan berkumpul hanya beberapa meter darinya. Ratusan orang akan
melihat dirinya telanjang bulat tanpa tertutup sehelai benang pun.
Kepala gadis itu terasa
berputar, saat Andi berbisik di telinganya, “Rasakan akibatnya kalau kamu tidak
mau jadi istriku! Sekarang semua orang tahu kamu sudah tidak perawan, dan semua
orang juga sudah pernah melihat kamu tanpa pakaian!” Perlahan gadis itu kembali
terisak dan berpikir seandainya saja ia menerima menjadi istri Andi.









No comments: