Ayu Si Janda Kembang
Cerita Dewasa - Telah belasan tahun
berpraktek aku di kawasan kumuh ibu kota. Pasienku lumayan banyak, namun
rata-rata dari kelas menengah ke bawah. Jadi sekalipun telah belasan tahun aku
berpraktek dengan jumlah pasien lumayan, aku tetap saja tidak berani membina
rumah tangga, sebab aku benar-benar ingin membahagiakan isteriku, bila aku memilikinya
kelak, dan kebahagiaan dapat dengan mudah dicapai bila kantongku tebal,
simpananku banyak di bank dan rumahku besar.
Namun aku tidak pernah mengeluh
akan keadaanku ini. Dengan pekerjaanku yang melayani masyarakat kelas bawah,
yang sangat memerlukan pelayanan kesehatan yang terjangkau, aku memperoleh
kepuasan secara batiniah, karena aku dapat melayani sesama dengan baik. Namun,
dibalik itu, aku pun memperoleh kepuasan yang amat sangat di bidang non materi
lainnya.
Suatu malam hari, aku diminta mengunjungi pasien yang katanya
sedang sakit parah di rumahnya. Seperti biasa, aku mengunjunginya setelah aku
menutup praktek pada sekitar setengah sepuluh malam. Ternyata sakitnya
sebenarnya tidaklah parah bila ditinjau dari kacamata kedokteran, hanya flu berat
disertai kurang darah, jadi dengan suntikan dan obat yang biasa aku sediakan
bagi mereka yang kesusahan memperoleh obat malam malam, si ibu dapat di
ringankan penyakitnya.
Saat aku mau meninggalkan rumah si ibu, ternyata tanggul di tepi
sungai jebol, dan air bah menerjang, hingga mobil kijang bututku serta merta
terbenam sampai setinggi kurang lebih 50 senti dan mematikan mesin yang sempat
hidup sebentar. Air di mana-mana, dan aku pun membantu keluarga si ibu untuk
mengungsi ke atas, karena kebetulan rumah petaknya terdiri dari 2 lantai dan di
lantai atas ada kamar kecil satu-satunya tempat anak gadis si ibu tinggal.
Karena tidak ada kemungkinan untuk pulang, maka si Ibu
menawarkan aku untuk menginap sampai air surut. Di kamar yang sempit itu, si
ibu segera tertidur dengan pulasnya, dan tinggallah aku berduaan dengan anak si
ibu, yang ternyata dalam sinar remang-remang, tampak manis sekali, maklum,
umurnya aku perkirakan baru sekitar awal dua puluhan.
“Pak dokter, maaf ya, kami tidak dapat menyuguhkan apa apa,
agaknya semua perabotan dapur terendam di bawah”, katanya dengan suara yang
begitu merdu, sekalipun di luar terdengar hamparan hujan masih mendayu dayu.
“Oh, enggak apa-apa kok Dik”, sahutku.
Dan untuk melewati waktu, aku banyak bertanya padanya, yang ternyata
bernama Ayu.
Ternyata Ayu adalah janda kampng tanpa anak, yang suaminya
meninggal karena kecelakaan di laut 2 tahun yang lalu. Karena hanya berdua saja
dengan ibunya yang sakit-sakitan, maka Ayu tetap menjanda. Ayu sekarang bekerja
pada pabrik konveksi pakaian anak-anak, namun perusahaan tempatnya bekerja pun
terkena dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Saat aku melirik ke jam tanganku, ternyata jam telah menunjukkan
setengah dua dini hari, dan aku lihat Ayu mulai terkantuk-kantuk, maka aku sarankan
dia untuk tidur saja, dan karena sempitnya kamar ini, aku terpaksa duduk di
samping Ayu yang mulai merebahkan diri.
Tampak rambut Ayu yang panjang terburai di atas bantal. Dadanya
yang membusung tampak bergerak naik turun dengan teraturnya mengiringi
nafasnya. Ketika Ayu berbalik badan dalam tidurnya, belahan bajunya agak
tersingkap, sehingga dapat kulihat buah dadanya yang montok dengan belahan yang
sangat dalam. Pinggangnya yang ramping lebih menonjolkan busungan buah dadanya
yang tampak sangat menantang. Aku coba merebahkan diri di sampingnya dan
ternyata Ayu tetap lelap dalam tidurnya.
Pikiranku menerawang, teringat aku akan Ria, yang juga
mempunyai buah dada montok, yang pernah aku tiduri malam minggu yang lalu, saat
aku melepaskan lelah di panti pijat tradisional yang terdapat banyak di kawasan
aku berpraktek. Tapi Ria ternyata hanya nikmat di pandang, karena permainan
seksnya jauh di bawah harapanku.
Waktu itu aku hampir-hampir tidak dapat pulang berjalan tegak,
karena burungku masih tetap keras dan mengacung setelah ‘selesai’ bergumul
dengan Ria. Maklum, aku tidak terpuaskan secara seksual, dan kini, telah
seminggu berlalu, dan aku masih memendam berahi di antara selangkanganku.
Aku mencoba meraba buah dada Ayu yang begitu menantang, ternyata
dia tidak memakai beha di bawah bajunya. Teraba puting susunya yang mungil. dan
ketika aku mencoba melepaskan bajunya, ternyata dengan mudah dapat kulakukan
tanpa membuat Ayu terbangun. Aku dekatkan bibirku ke putingnya yang sebelah
kanan, ternyata Ayu si janda kampung tetap tertidur.
Aku mulai merasakan kemaluanku mulai membesar dan agak menegang,
jadi aku teruskan permainan bibirku ke puting susu Ayu yang sebelah kiri, dan
aku mulai meremas buah dada Ayu yang montok itu. Terasa Ayu bergerak di bawah
himpitanku, dan tampak dia terbangun, namun aku segera menyambar bibirnya, agar
dia tidak menjerit.
Aku lumatkan bibirku ke bibirnya, sambil menjulurkan lidahku ke
dalam mulutnya. Terasa sekali Ayu si janda kampung yang semula agak tegang,
mulai rileks, dan agaknya dia menikmati juga permainan bibir dan lidahku, yang
disertai dengan remasan gemas pada ke dua buah dadanya.
Setalah aku yakin Ayu tidak akan berteriak, aku alihkan bibirku
ke arah bawah, sambil tanganku mencoba menyibakkan roknya agar tanganku dapat
meraba kulit pahanya. Ternyata Ayu sangat bekerja sama, dia gerakkan bokongnya
sehingga dengan mudah malah aku dapat menurunkan roknya sekaligus dengan celana
dalamnya, dan saat itu kilat di luar membuat sekilas tampak pangkal paha Ayu
yang mulus, dengan bulu kemaluan yang tumbuh lebat di antara pangkal pahanya
itu.
Kujulurkan lidahku, kususupi rambut lebat yang tumbuh sampai di
tepi bibir besar kemaluannya. Di tengah atas, ternyata clitoris Ayu sudah mulai
mengeras, dan aku jilati sepuas hatiku sampai terasa Ayu si janda kampung agak
menggerakkan bokongnya, pasti dia menahan gejolak berahinya yang mulai terusik
oleh jilatan lidahku itu.
Ayu membiarkan aku bermain dengan bibirnya, dan terasa tangannya
mulai membuka kancing kemejaku, lalu melepaskan ikat pinggangku dan mencoba
melepaskan celanaku. Agaknya Ayu mendapat sedikit kesulitan karena celanaku
terasa sempit karena kemaluanku yang makin membesar dan makin menegang.
Sambil tetap menjilati kemaluannya, aku membantu Ayu si janda
kampung melepaskan celana panjang dan celana dalamku sekaligus, sehingga kini
kami telah bertelanjang bulat, berbaring bersama di lantai kamar, sedangkan
ibunya masih nyenyak di atas tempat tidur.
Mata Ayu tampak agak terbelalak saat dia memandang ke arah bawah
perutku, yang penuh ditumbuhi oleh rambut kemaluanku yang subur, dan batang
kemaluanku yang telah membesar penuh dan dalam keadaan tegang, menjulang dengan
kepala kemaluanku yang membesar pada ujungnya dan tampak merah berkilat.
Kutarik kepala Ayu agar mendekat ke kemaluanku, dan kusodorkan
kepala kemaluanku ke arah bibirnya yang mungil. Ternyata Ayu tidak canggung
membuka mulutnya dan mengulum kepala kemaluanku dengan lembutnya. Tangan
kanannya mengelus batang kemaluanku sedangkan tangan kirinya meremas buah
kemaluanku.
Aku memajukan bokongku dan batang kemaluanku makin dalam
memasuki mulut Ayu. Kedua tanganku sibuk meremas buah dadanya, lalu bokongnya
dan juga kemaluannya. Aku mainkan jariku di clitoris Ayu, yang membuatnya
menggelinjang, saat aku rasakan kemaluan Ayu mulai membasah, aku tahu, saatnya
sudah dekat.
Kulepaskan kemaluanku dari kuluman bibir Ayu, dan kudorong Ayu
hingga telentang. Rambut panjangnya kembali terburai di atas bantal. Ayu mulai
sedikit merenggangkan kedua pahanya, sehingga aku mudah menempatkan diri di
atas badannya, dengan dada menekan kedua buah dadanya yang montok, dengan bibir
yang melumat bibirnya, dan bagian bawah tubuhku berada di antara kedua pahanya
yang makin dilebarkan.
Aku turunkan bokongku, dan terasa kepala kemaluanku menyentuh
bulu kemaluan Ayu, lalu aku geserkan agak ke bawah dan kini terasa kepala
kemaluanku berada diantara kedua bibir besarnya dan mulai menyentuh mulut
kemaluannya.
Kemudian aku dorongkan batang kemaluanku perlahan-lahan
menyusuri liang sanggama Ayu si janda kampung . Terasa agak seret majunya,
karena Ayu telah menjanda dua tahun, dan agaknya belum merasakan batang
kemaluan laki-laki sejak itu. Dengan sabar aku majukan terus batang kemaluanku
sampai akhirnya tertahan oleh dasar kemaluan Ayu.
Ternyata kemaluanku cukup besar dan panjang bagi Ayu, namun ini
hanya sebentar saja, karena segera terasa Ayu mulai sedikit menggerakkan
bokongnya sehingga aku dapat mendorong batang kemaluanku sampai habis,
menghunjam ke dalam liang kemaluan Ayu.
Aku membiarkan batang kemaluanku di dalam liang kemaluan Ayu
sekitar 20 detik, baru setelah itu aku mulai menariknya perlahan-lahan, sampai
kira-kira setengahnya, lalu aku dorongkan dengan lebih cepat sampai habis.
Gerakan bokongku ternyata membangkitkan berahi Ayu yang juga
menimpali dengan gerakan bokongnya maju dan mundur, kadangkala ke arah kiri dan
kanan dan sesekali bergerak memutar, yang membuat kepala dan batang kemaluanku
terasa di remas-remas oleh liang kemaluan Ayu yang makin membasah.
Tidak terasa, Ayu terdengar mendasah dasah, terbaur dengan
dengusan nafasku yang ditimpali dengan hawa nafsu yang makin membubung. Untuk
kali pertama aku menyetubuhi Ayu si janda kampung, aku belum ingin melakukan
gaya yang barangkali akan membuatnya kaget, jadi aku teruskan gerakan bokongku
mengikuti irama bersetubuh yang tradisional, namun ini juga membuahkan hasil
kenikmatan yang amat sangat.
Sekitar 40 menit kemudian, disertai dengan jeritan kecil Ayu,
aku hunjamkan seluruh batang kemaluanku dalam dalam, kutekan dasar kemaluan Ayu
dan seketika kemudian, terasa kepala kemaluanku menggangguk-angguk di dalam
kesempitan liang kemaluan Ayu dan memancarkan air maniku yang telah tertahan
lebih dari satu minggu.
Terasa badan Ayu melamas, dan aku biarkan berat badanku tergolek
di atas buah dadanya yang montok. Batang kemaluanku mulai melemas, namun masih
cukup besar, dan kubiarkan tergoler dalam jepitan liang kemaluannya. Terasa ada
cairan hangat mengalir membasahi pangkal pahaku.
Sambil memeluk tubuh Ayu si janda kampung yang berkeringat, aku
bisikan ke telinganya, “Ayu, terima kasih, terima kasih…”









No comments: